Suasana di kantor begitu tegang hari itu. Disana duduk beberapa orang, diantaranya ada Pak Jo, pak De, dan aku yang mengitari sebuah meja yang tidak bundar. Pak Jo begitu shock mendengar pernyataanku. Mereka seolah tidak percaya dengan apa yang aku ucapkan barusan.
“Apa kamu sudah berpikir masak – masak dengan keputusan ini?” Pak Jo bertanya dengan nada yang lembut.
“Insya Allah sudah saya pikirkan ini sejak lama pak” jawabku yakin.
“Pikirkan itu sekali lagi, jangan gegabah mengambil sebuah keputusan, nanti kamu sendiri yang akan menyesalinya”
“Iya pak, aku sudah berpikir ini dari sejak lama, aku juga sudah minta petunjuk sama Yang Diatas, dan jawabannya adalah keyakinanku semakin kuat dengan keputusan ini”
Sementara itu Pak De masih asyik menghisap rokok yang sudah tinggal seperempat batang lagi. Pak Jo terus saja menasihatiku untuk memikirkan kembali keputusan yang aku buat. Aku mengerti sekali kemana arah pembicaraan Pak Jo, tapi aku masih kekeuh memegang keputusan yang sudah aku buat.
“Ehm… kalau saya pribadi tidak masalah, tapi masalahnya gimana dengan tanggung jawabmu nanti, siapa yang akan menggantikannya?” terdengar suara Pak De, sepertinya rokok dalam hisapannya sudah habis.
“Saya sudah merencanakan itu juga pak” jawabku singkat.
“Maksudnya?”
“Saya sudah mengajari bawahan saya untuk mengerjakan tugas yang biasa saya bikin setiap hari, dan sepertinya dia mampu”
“Iya tapi tidak semudah itu….”
“Maksud bapak??”
“Saya tidak mau tandatangani surat itu” Suara Pak De terdengar pelan tapi tegas.
“Tidak bisa begitu pak, saya sudah baik – baik meminta tolong kepada bapak, kenapa bapak begitu?” tanyaku lagi.
“Saya belum siap,, jangan sekarang!”
Sepertinya sikap pak De begitu keras dan menolak untuk membantu aku. Bahkan Pak De langsung keluar dari ruangan sesaat setelah berbicara seperti itu. Kini tinggal aku sama Pak Jo yang berada di ruangan itu. Aku berusaha menjelaskan semua perihal keputusanku itu. Dan aku meminta Pak Jo agar mengerti tentang pilihanku itu.
“Kalau itu memang sudah menjadi keputusanmu, saya terima saja. Toh yang menjalani kan juga kamu”
“Iya pak, tapi gimana dengan Pak De, sepertinya beliau belum bisa menerimanya”
“Ya itu sikap yang wajar, beliau itu bingung nanti kalau kamu nda ada gimana.”
“Kan ada banyak orang disini pak, dan saya sudah bilang juga tadi kalau bukan hanya saya yang bisa, temanku juga sudah saya ajari dan bisa”
“Ya sudah biar saya saja nanti yang menjelaskan kepada Pak De” ucap Pak Jo menenangkanku.
**** **** ****
Tidak berapa lama Pak De memanggilku kedalam ruangannya.
“Pak Jo sudah menjelaskan semuanya kepada saya, dan saya sebenarnya juga tidak bisa apa – apa kalau begini, ini kan sudah menjadi keputusanmu”
“Iya pak, mohon maaf kalau saya banyak salah pada bapak”
“Iya nda apa – apa kok, justru saya yang tadi sudah marah – marah sama kamu. Eh tapi kemarahan saya itu ada alasannya loh. Itu semua karena saya masih senang kamu kerja disini”
“ya tapi keputusanku juga sudah bulat pak, saya sudah memperhitungkan semua resikonya, kalaupun meleset ya,, wallohu a’lam.”
“Okelah kalau begitu, jadi siapa yang akan menggantikanmu nanti?”
“semua terserah bapak saja, tapi kalau saya merekomendasikan si Un untuk sementara menggantikan tugas saya. Dia sudah bisa kok pak”
“Ya kita lihat saja nanti perkembangannya, mana sini suratmu biar saya tandatangani?”
“Ini pak…” aku sodorkan surat pengunduran diriku kepada Pak De.
Setelah Pak De tandatangan, aku segera berpamitan dengan semua orang yang telah menemani sebagian hidupku disini. Kutinggalkan serpihan kenangan hidupku ini di kampong ini, kampong buatan yang sejatinya adalah hutan belantara. Namun biarpun hutan, tetap saja banyak ilmu yang berceceran disini. Banyak kisah pertemanan yang penuh warna, ada suka ada juga duka semua tersaji disini. Kini kumencoba menapaki jalan yang lain untuk menanggalkan jejak – jejak kecil yang lebih berarti. Untuk menyatukan puzzle hidupku yang kian penuh warna. Selamat tinggal kenangan, kan kulangkahkan kaki menuju gerbang harapan.
Wassalam…
“Apa kamu sudah berpikir masak – masak dengan keputusan ini?” Pak Jo bertanya dengan nada yang lembut.
“Insya Allah sudah saya pikirkan ini sejak lama pak” jawabku yakin.
“Pikirkan itu sekali lagi, jangan gegabah mengambil sebuah keputusan, nanti kamu sendiri yang akan menyesalinya”
“Iya pak, aku sudah berpikir ini dari sejak lama, aku juga sudah minta petunjuk sama Yang Diatas, dan jawabannya adalah keyakinanku semakin kuat dengan keputusan ini”
Sementara itu Pak De masih asyik menghisap rokok yang sudah tinggal seperempat batang lagi. Pak Jo terus saja menasihatiku untuk memikirkan kembali keputusan yang aku buat. Aku mengerti sekali kemana arah pembicaraan Pak Jo, tapi aku masih kekeuh memegang keputusan yang sudah aku buat.
“Ehm… kalau saya pribadi tidak masalah, tapi masalahnya gimana dengan tanggung jawabmu nanti, siapa yang akan menggantikannya?” terdengar suara Pak De, sepertinya rokok dalam hisapannya sudah habis.
“Saya sudah merencanakan itu juga pak” jawabku singkat.
“Maksudnya?”
“Saya sudah mengajari bawahan saya untuk mengerjakan tugas yang biasa saya bikin setiap hari, dan sepertinya dia mampu”
“Iya tapi tidak semudah itu….”
“Maksud bapak??”
“Saya tidak mau tandatangani surat itu” Suara Pak De terdengar pelan tapi tegas.
“Tidak bisa begitu pak, saya sudah baik – baik meminta tolong kepada bapak, kenapa bapak begitu?” tanyaku lagi.
“Saya belum siap,, jangan sekarang!”
Sepertinya sikap pak De begitu keras dan menolak untuk membantu aku. Bahkan Pak De langsung keluar dari ruangan sesaat setelah berbicara seperti itu. Kini tinggal aku sama Pak Jo yang berada di ruangan itu. Aku berusaha menjelaskan semua perihal keputusanku itu. Dan aku meminta Pak Jo agar mengerti tentang pilihanku itu.
“Kalau itu memang sudah menjadi keputusanmu, saya terima saja. Toh yang menjalani kan juga kamu”
“Iya pak, tapi gimana dengan Pak De, sepertinya beliau belum bisa menerimanya”
“Ya itu sikap yang wajar, beliau itu bingung nanti kalau kamu nda ada gimana.”
“Kan ada banyak orang disini pak, dan saya sudah bilang juga tadi kalau bukan hanya saya yang bisa, temanku juga sudah saya ajari dan bisa”
“Ya sudah biar saya saja nanti yang menjelaskan kepada Pak De” ucap Pak Jo menenangkanku.
**** **** ****
Tidak berapa lama Pak De memanggilku kedalam ruangannya.
“Pak Jo sudah menjelaskan semuanya kepada saya, dan saya sebenarnya juga tidak bisa apa – apa kalau begini, ini kan sudah menjadi keputusanmu”
“Iya pak, mohon maaf kalau saya banyak salah pada bapak”
“Iya nda apa – apa kok, justru saya yang tadi sudah marah – marah sama kamu. Eh tapi kemarahan saya itu ada alasannya loh. Itu semua karena saya masih senang kamu kerja disini”
“ya tapi keputusanku juga sudah bulat pak, saya sudah memperhitungkan semua resikonya, kalaupun meleset ya,, wallohu a’lam.”
“Okelah kalau begitu, jadi siapa yang akan menggantikanmu nanti?”
“semua terserah bapak saja, tapi kalau saya merekomendasikan si Un untuk sementara menggantikan tugas saya. Dia sudah bisa kok pak”
“Ya kita lihat saja nanti perkembangannya, mana sini suratmu biar saya tandatangani?”
“Ini pak…” aku sodorkan surat pengunduran diriku kepada Pak De.
Setelah Pak De tandatangan, aku segera berpamitan dengan semua orang yang telah menemani sebagian hidupku disini. Kutinggalkan serpihan kenangan hidupku ini di kampong ini, kampong buatan yang sejatinya adalah hutan belantara. Namun biarpun hutan, tetap saja banyak ilmu yang berceceran disini. Banyak kisah pertemanan yang penuh warna, ada suka ada juga duka semua tersaji disini. Kini kumencoba menapaki jalan yang lain untuk menanggalkan jejak – jejak kecil yang lebih berarti. Untuk menyatukan puzzle hidupku yang kian penuh warna. Selamat tinggal kenangan, kan kulangkahkan kaki menuju gerbang harapan.
Wassalam…






No comments:
Post a Comment
Kalau sudah baca, silakan berkomentar ya...!!